Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Muhammadiyah Menjadi Partai Politik?





Pewacanaan Muhammadiyah menjadi Partai Politik begitu kencang sekitar tahun 1966, terutama setelah pembubaran diri (atau dibubarkannya Masyumi). Hal ini karena beberapa pihak menilai, Muhammadiyah perlu ruang politik agar geraknya tajam lagi, terutama agar memiliki andil dalam menentukan kebijakan publik.
 
Ilustrasi
Sementara NU sudah lebih dulu menjadi Partai Politik pada tahun 1952 dan bisa ikut Pemilu 1955. Secara mengejutkan, Partai NU masuk tiga besar dibawah PNI dan Masyumi.

Selepasnya NU dari Masyumi, kekuatan Masyumi memang menurun. Meski menjadi Partai terbesar kedua kala itu, namun besarnya Masyumi karena disokong oleh beberapa Ormas Islam Modernis terutama Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad.

Keadaan tersebut begitu terasa ketika beberapa petinggi Masyumi bersitegang dengan Presiden Soekarno, yang salah satunya menolak Manipol. Karena sebagian petingginya terlibat PRRI, maka timbul kemelut di internal Masyumi dan mungkin juga Ormas penyokongnya seperti Muhammadiyah.

Termasuk yang paling dibuat bingung adalah Prawoto Mangkusasmito, yang duduk menjadi ketua Umum. Dalam beberapa catatan, termasuk catatan yang pernah ditulis Ajip Rosidi dan Prawoto sendiri, internal Masyumi sendiri memang punya insting bahwa Presiden Soekarno akan membubarkan mereka setelah sebagian petingginya terlibat PRRI.

Sebelum itu, maka mereka membubarkan diri. Hal ini untuk menghindari kesan jikalau Masyumi dibubarkan Soekarno. Meski sejarah pun memiliki versi yang beragam, bahwa Masyumi memang dibubarkan Soekarno demi menegakkan Manipol, atau ideologi Nasakom-nya.

Karena itu sekitar tahun 1965 dan 1966 ada keinginan besar untuk merehabilitasi kembali Masyumi. Ini dirasa perlu karena selepas bubarnya Masyumi, Ormas penyokong nampak kesulitan dalam akses politik. Sampai-sampai, beberapa tokoh di Muhammadiyah, salah satunya Djarnawi Hadikusumo berpendapat perlunya Muhammadiyah menjadi Partai Politik.

Desas desus jika Muhammadiyah akan menjadi Parpol itu terdengar oleh Prawoto yang juga tengah mempersiapkan rehabilitasi Masyumi. Bagi Masyumi, posisi Muhammadiyah sebagai Ormas penyokong sangatlah penting, karena dari segi pengikut, Muhammadiyah paling banyak dibanding Ormas yang lain.

Artinya apa, hampir sulit untuk menghidupkan kembali Masyumi tanpa campur tangan Muhammadiyah. Mungkin bisa, namun secara dukungan tidak akan maksimal. Sampai-sampai, Prawoto menemui Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu, K.H Ahmad Badawi untuk meminta agar Muhammadiyah mendukung rehabilitasi Masyumi.

Dijelaskan oleh KH. Ahmad Badawi, bahwa Muhammadiyah tidak mungkin menjadi Partai Politik, karena terkendala oleh putusan Tanwir Bandung 1966. Namun demikian beberapa tokoh Muhammadiyah masih banyak menyuarakan hal tersebut.

Namun entah apa yang terjadi, sepertinya memang terjadi dead lock dan belum bulatnya kesepakatan untuk rehabilitasi kembali Masyumi, sampai dibentuklah Panitia Tujuh pada tanggal 7 Mei 1967 yang diketuai oleh KH. Faqih Usman (yang nantinya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah).

Panitia tujuh ini dibentuk oleh Badan Koordinasi Amal Muslimin (1965), salah satu wadah bersama Ormas Islam yang menginginkan terbentuknya Partai Politik pasca Masyumi. Maka didirikanlah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada 17 Agustus 1967. Namun Pemerintah mengisyaratkan tidak bolehnya mantan Pengurus Masyumi menjadi pimpinan Parmusi.

Berdirinya Parmusi sekaligus menggagalkan upaya untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai Partai Politik. Meski sebagian besar pendiri Parmusi jugalah tokoh Muhammadiyah, bahkan ketuanya, Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Umum, Drs. Lukman Harun adalah tokoh Muhammadiyah.

Namun tak berselang lama, rezim Soekarno lengser dan berganti rezim Soeharto. Parmusi untuk pertama kalinya mengikuti pemilu 1971 dan berada di posisi ketiga setelah Golkar dan Partai NU. Meski sudah berhasil mengungguli PNI yang notabene pemenang pemilu 1955, namun pemilu 1971 dianggap kurang demokratis lagi.

Pada tahun 1975 rezim orde baru melalui kekuatannya di Parlemen kemudian melakukan fusi parpol dalam dua unsur. Unsur agama dan nasionalis. Golkar, dikarenakan bukan Parpol maka tidak terkena fusi tersebut. Golongan agama di gabungkan ke PPP, termasuk Partai NU, Parmusi dan Partai Syarikat Islam. Golongan nasionalis digabungkan ke PDI.

Selanjutnya, pemilu era orde baru menjadi panggung Golkar seutuhnya. Untung, karena Muhammadiyah tidak menjadi Parpol, maka tidak tersedot ke PPP sebagaimana NU. Hubungan Muhammadiyah dan Golkar tergolong baik, apalagi selama kepemimpinan AR Fachrudin. []


Blitar, 18 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz



Sumber bacaan :
Buku karya Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama : Sejarah NU  1952-1967
Buku karya S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Terakhir Masyumi
Buku Karya Amien Rais, Moralitas Politik di Muhammadiyah
Wikipedia
Nu Online
dll
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments