Salah satu hal yang paling menggiurkan dari menulis ialah, mendapatkan penghasilan tambahan. Pemikiran semacam ini memang logis, apalagi ketika tahu besaran honor yang diberikan beberapa media ketika tulisan kita dimuat.
Kompas saja misalkan, berani memberikan honor diatas 1 juta untuk cerpen yang dimuat setiap minggunya. Beberapa media nasional, memberikan honor diatas 500 ribu. Belum lagi media-media lokal, dan media online yang memberikan honorarium di bawah 500 ribu.
Secara matematik, jika memang konsisten menggeluti bidang kepenulisan, dan memang hanya menjadi penulis, sebenarnya mencukupi. Belum lagi ketika kita memiliki naskah berupa buku, lalu buku tersebut diterbitkan dengan sistem royalti.
Ketika berbincang dengan salah satu editor Intrans Publising (sayang saya lupa namanya), dijelaskan bahwa sistem royalti itu akan terus berjalan selama buku naik cetak/cetak ulang. Bahkan ketika penulisnya sudah meninggal sekalipun. “Seperti buku Teologi Islam karya Harun Nasution, yang selalu cetak ulang setiap tahunnya karena menjadi buku pegangan wajib perkuliahan,” jelas editor tersebut.
Beberapa penerbit kemudian mengirimkan royalti tersebut kepada keluarganya, atau semacam “hak waris” atas royalti karyanya. Ada yang sampai membuat perjanjian di awal. Hal itu dikarenakan, banyak penulis yang ingin royaltinya disumbangkan ke Panti Asuhan, Masjid, atau Pesantren ketika ia sudah meninggal dan bukunya cetak ulang.
Namun agar tulisan bisa dimuat ke media massa, atau diterbitkan oleh penerbit terkenal, memang butuh kualitas tersendiri. Kadang perlu bersabar, karena sekali dua kali mengirim belum tentu dimuat. Termasuk ketika mengirimkan naskah buku ke penerbit. Bahkan sekelas Masdhar Zainal, yang kini cerpen-cerpennya banyak menghiasi koran dan majalah, harus mengalami belasan penolakan.
Namun media tidak hanya menerima karya sastra seperti cerpen dan puisi. Saya misalkan, ketika Mahasiswa lebih banyak menulis opini, liputan, dan lebih banyak lagi menulis konten berupa artikel untuk media online.
Tidak semua koran dan majalah memberikan honor untuk tulisan saya. Seperti Surya dan Koran Pendidikan. Namun karena ada kebijakan dari kampus, bahwa tulisan mahasiswa yang dimuat di media dan mencantumkan almamater, maka berhak diajukan untuk mendapatkan honor dari Fakultas. Seingat saya, satu tulisan mendapatkan Rp75.000. Lumayan untuk kantong mahasiswa.
Jika kebetulan media bersangkutan memberikan honor atas tulisan kita, maka kita akan mendapatkan dua honor sekaligus. Yang satu dari medianya, satu dari kampus.
Selain itu, karena dulu saya sambil kerja serabutan di Kemahasiswaan, hampir selalu direkomendasikan mendapatkan beasiswa. Entah beasiswa tahunan seperti beasiswa DIPA, atau beasiswa yang datang tiap semester dari beberapa pabrik rokok tersebut. Saya mengajukan lewat jalur penulis. Seingat saya, dari kuota 20, yang mendaftar lewat jalur tersebut sekitar belasan.
Menarik pula menulis konten. Pertama kali dapat tawaran satu artikel dibayar Rp2.000. Menurut teman saya itu terlalu murah dan tidak menghargai intelektualitas mahasiswa. tapi entahlah, bagi saya itu berbeda. satu artikel itu hanya 3-5 paragraf. Mengetiknya tidak sampai 15 menit. Memang mencari informasinya yang butuh waktu.
Semisal membuat artikel tentang psikologi dan kesehatan, kadang kita perlu membaca beberapa buku untuk kemudian mengolahnya menjadi artikel sederhana. Kala itu pertimbangan saya tidak saja honor, tapi karena tanggung jawab tersebut saya jadi banyak membaca buku. Itulah yang saya nikmati. Meski kemudian ada kenaikan menjadi Rp4000 per artikel.
Namun jika konsisten sebetulnya menjadi penulis konten itu juga menjanjikan. Beberapa penulis konten senior, yang punya banyak nama samaran, satu artikelnya bisa dihargai Rp20.000. Satu artikel untuk penulis senior sekitar 4-6 paragraf. Jika sehari saja bisa menulis minimal lima artikel, sebulan pendapatannya sudah lumayan.
Beberapa contoh diatas baru sebagai penulis lepas, alias tidak terikat oleh lembaga manapun. Artinya, kita mau nulis atau tidak, terserah kita. Namun ada juga yang terikat dengan lembaga, misalkan wartawan dan editor sebuah penerbitan. Ada banyak wartawan yang kemudian menjadi penulis buku. Artinya, dia menulis buku bukan untuk diajukan ke penerbit, namun diminta penerbit untuk membuat buku.
Sebenarnya tidak hanya penerbit. Beberapa tokoh, entah pengusaha, politisi, dll biasanya ingin menerbitkan buku tentang biografi dirinya, lalu meminta wartawan senior untuk menuliskannya. Hal itu dikarenakan, wartawan memiliki kemampuan dalam mengolah kata, juga struktur tulisan agar lebih rapi. Contohnya, buku biografi Pengusaha terkenal di Blitar, Pak Sis, yang ditulis oleh wartawan senior Malang Post, Pak Husnun N. Djuraid.
Kesimpulannya, mendapatkan penghasilan dari menulis bisa sekedar menjadi penulis lepas, bekerja di lembaga, atau terlibat lebih jauh semisal mengelola lembaga penerbitan. Ajip Rosidi misalkan, selain pandai menulis, pada akhirnya juga mengelola beberapa penerbitan yang ia dirikan, dan berupaya untuk membukukan beberapa esai yang terserak dan skenario teater dari para pegiatnya.
Memang ada penulis yang khusyuk hanya menulis, tidak mau terlibat organisasi atau pekerjaan profesional lainnya. Ada penulis yang “nyamping” sampai akhirnya lupa pada dunia menulisnya. Seperti yang pernah dituturkan Linda Christanty. Bahwa dulu banyak penulis terlibat ke PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang anti Soeharto. Setelah Soeharto lengser, mereka melupakan dunia menulis dan asyik menjadi Politisi.
Godaan lainnya adalah keinginan mencicipi semua genre. Sebenarnya tidak masalah. Toh tidak sedikit penulis kaliber yang jago membuat puisi, cerpen, teater, tapi juga piawai menulis opini dan esai. Taufiq Ismail yang dalam fikiran kita hanya menulis puisi, ternyata pernah juga menulis esai di Majalah Horison.
Saya sendiri termasuk yang ingin mencicipi semuanya, juga sempat tergoda untuk “nyamping”, misalkan ke Politik. Tapi niat tersebut saya urungkan. Paling pol hanya aktif di dunia pergerakan dan LSM.
Meskipun ada banyak sastrawan terkemuka Indonesia yang selain Pengusaha, juga Politisi. Asrul Sani misalkan. Belum lagi sastrawan jebolan Lekra seperti A.S Dharta yang pernah menjadi anggota Legislatif. Goenawan Mohamad yang kemudian juga dikenal sebagai pendiri Tempo.
Anehnya, justru saya mengangumi penulis yang latar belakangnya adalah artis, yaitu Dee Lestari. Mungkin benar apa kata pepatah, banyak hal di dunia ini akan berubah. Mulai dari bentuk tubuh, perilaku, pemikiran, politik, sampai ilmu pengetahuan. Namun satu yang tak berubah, yaitu art (keindahan). []
Blitar, 17 Februari 2017
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini