Ada beberapa istilah jihad yang pernah saya dengar sebelumnya. Selain jihad qital(perang), di dalam organisasi kepenulisan yang saya aktif di dalamnya, ada istilah juga jihad bil qolam, jihad dengan pena, artinya menulis. Jihad bil qalam adalah turunan dari jihad bil hal. “hal” ini merujuk pada sesuatu yang bisa dijadikan media atau cara-cara berjihad. Belakangan di Muhammadiyah, saya mendengar istilah baru yang terdengar sangat unik ; jihad digital. Menggunakan dua suku kata yang berbeda bahasa.
Selain itu juga masih ada tiga jenis jihad lagi di Muhammadiyah, seperti jihad konstitusi yang praksisnya adalah melakukan judificial review UU yang dinilai tidak pro kepentingan bangsa, juga ada istilah jihad ekonomi. Jihad ekonomi ini mungkin hampir semakna dengan jihad bil mal, meski barangkali konteks dan formulasinya berbeda. Satu lagi istilah jihad yang, kalau tidak salah, pernah di populerkan anak-anak IPM, adalah jihad literasi.
Jika merujuk pada makna, jihad digital itu agak berbeda dengan jihad literasi atau juga jihad bil qalam. Makna digital sendiri, kalau merujuk pada kamus ilmiah populer kodifikasi dari Achmad Maulana, dkk sebenarnya merujuk pada sistem digit/kode. Namun makna digital kemudian berkembang menjadi segala hal yang berbau teknologi. Maka ada istilah era digital untuk mendefinisikan zaman dimana internet berkembang sedemikian pesatnya.
Begitupun dengan istilah literasi. Dalam kamus bahasa Indonesia, arti literasi sangatlah sederhana, kesanggupan membaca dan menulis. Artinya literasi itu tidak saja menulis, tapi juga membaca. Lalu bagaimana implementasi dari jihad literasi? Apakah dengan membuka forum diskusi, bedah buku, menulis, atau membuat buku sendiri. Mungkin bisa ketiganya. Berbeda pula dengan istilah jihad bil qalam, qalam berarti pena. Secara spesifik adalah menghasilkan karya tulis.
Jihad digital sebenarnya lebih luas dibanding jihad literasi atau jihad bil qalam. Karena digital itu menjelaskan suatu era dan habitus. Tidak saja pada alat atau cara. Digital itu menandai suatu era dimana segala hal yang biasanya dilakukan secara manual, sudah beralih pada sistem, istilahnya digitalisasi. Contohnya, jika dulu absensi Guru itu hanya tanda tangan di buku presensi, sekarang sudah menggunakan finger print. Itu juga bagian dari digitalisasi.
Sebagai habitus, era digital juga merubah paradigma masyarakat. Contoh sederhana, jika dulu ingin mengakses informasi orang pergi ke perpustakaan dengan mencari buku, majalah, tabloid, jurnal, dll. Sekarang hanya cukup menggunakan internet. Kebiasaan yang berubah juga sudah mulai terasa di sekolah, dimana buku-buku teks, LKS dslb mulai digantikan dengan gadget. Perubahan habitus lainnya ialah, banyaknya orang kini menggunakan sosmed. Sosmed ternyata sedikit demi sedikit merubah cara orang dalam bergaul, berkomunikasi, hingga beribadah kepada Tuhan.
Perubahan-perubahan itu juga bisa menggeser kebudayaan kita. Budaya verbal seperti bertutur dan menyapa juga sudah mulai bergeser. Banyak sekarang anak-anak sekolah yang tergeragap untuk berbicara di depan umum, terlebih mereka yang tidak ikut organisasi, bukan karena mereka gagap. Tapi karena habitus yang berubah. Sekarang di ruang publik orang cenderung saling diam satu sama lain sambil memegang ponsel dan gadgetnya masing-masing.
Kemampuan verbalnya kurang terasah, kemampuan bertanya, basa-basi, atau sok kenal dengan orang yang baru ia temui. Kemampuan berbicara semakin tidak dibiasakan. Maka jangan heran jika kita sering salah paham menilai seseorang di sosmed dengan di kehidupan nyata. Kita kira ia cerewet karena sering menulis status panjang dan emosional, tapi pas bertemu ternyata dia sangat pendiam. Itu contoh kecil dari pergeseran budaya.
Tapi itu hal lain, sekarang bagaimana implementasi dari jihad digital itu sendiri?
Sederhananya, jihad digital diarahkan pada penyediaan media dan kontent-kontent di dunia cyber. Maka di beberapa daerah, jihad digital diaplikasikan dengan cara membuat website lembaga. Website itu kemudian dijadikan media, tidak saja sebagai media informasi, tapi juga media untuk merespon isu-isu yang sedang trend. Namun kontent tidak terbatas pada tulisan saja. Kontent bisa beragam : video, animasi, gambar, dll.
Kalau mau lebih luas lagi memaknai jihad digital, sebenarnya Pemerintah baik level Nasional maupun Deerah yang menjalankan e-goverment itu juga bagian dari jihad digital. Segalanya dibuat digital, sehingga celah untuk memanipulasi data atau kongkalikong bisa diminimalisir bahkan tidak diberi ruang sama sekali. Termasuk lelang tender yang melalui sistem online. Cara-cara ini bisa disebut jihad karena mencegah kejahatan bernama korupsi.
Terkait dengan jihad digital yang kini marak disuarakan oleh Muhammadiyah, tentu instrumentnya harus lebih luas. Tidak saja melalui website dan tulisan-tulisan. Penguatan media televisi, juga penyediaan kontent-kontent lain seperti video kajian. Jika ada kajian di Masjid Muhammadiyah, maka bisa didokumentasikan untuk selanjutnya di share melalui website. Juga kontent kreatif lain yang bersifat visual, bahkan jika perlu merambah ke film. Ini tentu sangat menarik. (*)
Blitar, 13 Oktober 2016
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini