Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Sastra dan Kebahagiaan hidup





Anggap saja sastra itu seperti musik. Musik bisa dinikmati siapapun, profesi apapun, dan dalam acara apapun. Bahkan di dalam orang-orang yang mengharamkan musik pun, mereka melantunkan musik, meski tidak melalui alat musik dan hanya menggunakan irama. Tapi musik intinya adalah irama, nada, dan lirik. Alat musik hadir untuk lebih menekankan rasa dari musik itu.

Jadi, sastra itu ada dalam musik. Dalam lirik-liriknya, dalam pemaknaannya. Musik itu bisa dikatakan sound of soul (dentuman jiwa). Yang menghendaki kebebasan total dalam jiwanya (meski tidak mungkin terjadi dalam badannya) menggunakan musik aliran keras. Bisa undeground, metal, rock, dsj. Yang melankoli, suka dengan musik-musik slow. Intinya, musik adalah suara hati.

Musik menjadi sangat universal, populer, dan mahal karena musik adalah jenis karya seni yang gampang sekali dinikmati. Dengan indra pendengaran. Mungkin liriknya berat, penuh makna dan filosofis dan orang tidak lekas paham. Tapi orang bisa menikmati instrument dan nadanya.

Hampir setiap sinetron, film, hingga drama, memanfaatkan musik untuk menciptakan kesan. Mengiringi adegan setiap adegan.

Anggap saja sastra itu seperti musik, tapi beda cara menikmatinya. Sastra dinikmati dengan pikiran dan hati. Puisi, kita bisa memetik indah bahasanya, tapi bisa juga tidak. cerpen, kita bisa menikmati alur cerita, diksi, dan setiap adegan yang dituliskan. Begitu pun dengan novel. Karya sastra dibuat untuk memaknai kehidupan. Jika belum mampu memetik maknanya, sebut saja merayakan kehidupan.

Merayakan. Membuat perayaan. Berarti menikmati hidup. Biasanya kita merayakan hal-hal yang membahagiakan. Moment ulang tahun, pernikahan, kelulusan, naik jabatan, dll. Sesuatu yang tidak membahagiakan, biasanya tidak dirayakan, dan hanya diratapi, ditangisi, dan jika tidak bisa mengontrol, akan depresi.

Sastra itu merayakan hidup. Hidup tidak selalu berupa kebahagiaan, ada lebih banyak kesedihan dan penderitaan. Tapi kesedihan pun bisa dirayakan, melalui puisi dengan bahasa indah. Dari penderitaan, muncul makna dan kebijaksanaan. Untuk itulah, sastrawan itu sering disebut “orang gila”. Gila karena ia bisa menikmati hidup dengan karya-karyanya. Menemukan kebahagiaan dari kemampuannya memaknai kesedihan.

Kita yang bukan sastrawan ini, tidak perlu ikut-ikutan gila. Cukup menikmati. Cukup mengambil sisi positifnya, sisi indahnya, sisi pemaknaannya dari karya-karya mereka. Dari puisi, cerpen, hingga novel mereka.

Jadi, sastra itu bukan sesuatu yang rumit yang selama ini kita tahu melalui teori-teori itu. Sastra itu sederhana. Menikmatinya pun sederhana. Sastra itu sesederhana kita memaknai kehidupan ini. Sastra itu sama halnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan hidup. (*)

11 Februari 2016
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments