“Saya ingin menemui Bu Mira.”
“Maaf Bu Miranya tidak bisa diganggu, banyak kerjaan, tapi apa Nak bagus ini sudah janjian?”
“Nama saya Egar bukan bagus, saya ingin bertemu Bu Mira, saya tahu sekarang Bu Mira sedang di ruang kerjanya, tolong sampaikan jika saya ingin bertemu.”
Dari atas balkon Bu Mira melihat Egar dan Mamang, lalu ia turun dan menemui mereka.
“Mbok, biarkan dia masuk,” pinta Bu Mira yang menghampiri mereka.
Egar dan Mamang memasuki ruang tamu, Egar tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi matanya tertuju pada sebuah lukisan yang tertempel di dinding ruang tamu itu. Sebuah lukisan yang sangat ia kenal. Egar terus mengamati lukisan itu, Bu Mira pun ikut memandang ke arah lukisan itu dan diapun terkesiap. Bu Mira mencoba memasang ekspresi datar.
“Saya sudah bisa memprediksi jika kamu akan menemui Ibu, dan kamu pasti akan menanyakan banyak hal,” ucap Bu Mira.
“Jadi ini adalah skenario Ibu?” tanya Egar.
Mamang hanya diam sambil berfikir keras, apa kira-kira yang mereka berdua bicarakan?.
“Kamu anak yang cerdas, tidak mudah untuk menyembunyikan sesuatu dari kamu.”
“Termasuk lukisan itu?” Egar menunjuk sebuah lukisan figuratif yang menggambar dua buah tangan yang hendak saling berjabat tangan, namun jari-jari keduanya belum tergambar, atau mungkin juga terhapus.
“Itu adalah lukisan Refan,” jelas Bu Mira.
“Saya sudah tahu itu, dia telah banyak melukis, dan kini lukisannya hanya menjadi benda mati yang terserak.”
“Dia memiliki bakat yang baik dalam melukis, namun sayang .....”
“Ibu telah mengetahui banyak hal tentang Refan, tolong ceritakan sesuatu kepada saya,” pinta Egar saat memotong kata-kata Bu Mira.
Bu Mira terdiam, lalu ia mengambil lukisan itu, karena letaknya yang terlalu tinggi, ia meminta bantuan Mamang, sejenak ia memeluk lukisan itu dan menyodorkannya kepada Egar.
“Lukisan ini belum selesai, bagian tangan yang berjabat belum tergambar.”
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini