sekolah ini, meskipun sikapnya agak susah ditolerir. Tapi saya siap mengubah cara saya khusus untuk menanganinya,” jelas Pak Dibyo.
Bu kepala sekolah memutar kursi kerjanya dan memandang ke arah Pak Dibyo.
“Saya sudah mempelajari anak itu sejak dulu, sejak masih berada disekolahnya yang lama, dia memang jenius, IQ-nya cukup tinggi, selain itu dia juga tipikal anak yang memiliki ingatan kuat, tapi masih butuh waktu agar dia bisa benar-benar memahami filosofi Pendidikan di sekolah ini,” jelas Bu Kepala.
“Benar, apakah Ibu yakin akan bisa memahamkan filosofi pendidikan disekolah ini kepada anak itu?” tanya Pak Dibyo.
“Dia yang memilih kesini, dan dia sendiri yang menginginkan untuk belajar filosofi Pendidikan di sekolah ini, untuk hal ini, saya juga akan turun tangan, Pak. Jadi Bapak tidak perlu kawatir, saya sendiri yang akan mengisi pelajaran pengembangan diri di kelas sebelas bahasa satu.”
“Baiklah Bu kepala sekolah.”
“Pak Dibyo tidak usah memanggil saya seperti itu, panggil saja saya Mira. Bukankah usia Pak Dibyo jauh lebih senior dari saya?”
Pak Dibyo tertawa mendengar kata-kata Bu Kepala sekolah.
“Ibu ini memang selalu begini, bagi saya Ibu adalah atasan saya dan saya harus memanggil dengan sebutan yang seharusnya.”
Bu Mira berdiri dari tempat duduknya dan membalas ucapan Pak Dibyo.
“Pak Dibyo, bukankah Pendidikan itu mengajarkan anak sebuah kesantunan? Semakin dia terdidik maka semakin ia tahu bagaimana ia harus bertindak. Ini bukan lembaga militer Pak, jadi marilah kita tempatkan porsi yang seharusnya. Sebagai Guru Pak Dibyo jauh lebih senior dari saya, tapi secara gelar akademik saya memang lebih tinggi dari bapak. Jadi mohon bantuanya,” jelas Bu Mira.
“Baiklah, Mira,” jawab Pak Dibyo sambil melempar senyum pada kepala sekolah.
****
Egar berjalan mengelilingi sudut-sudut sekolahan, ia mengamati poster-poster dan banner yang terpampang, melihat suasana perpustakaan, kantin sekolah hingga parkiran yang penuh dengan sepeda motor. Ia mencoba membandingkan dengan sekolahnya terdahulu, ternyata memang sangat jauh berbeda.
“Apakah mereka disini hanya bermain-main saja?” pekik Egar sambil berjalan kembali ke dalam kelas karena bel masuk telah berbunyi.
Sementara benaknya masih tertuju pada sebuah banner kecil yang tertempel di depan perpustaaan tadi, banner itu bertuliskan ‘Setiap manusia memiliki jiwa yang memberikannya ruang untuk hidup bebas’. Jujur saja, ia terpaku dengan kata-kata itu, karena baginya tidak ada yang namanya kebebasan. Yang ada hanyalah rangkaian aturan nan mengikat, kebebasan hanyalah omong kosong karena sejatinya hidup adalah ibarat belenggu waktu.
Ketika ia lahir, ia sudah akrab dengan penjara kesunyian, dan cara meretas kesendiriannya tersebut adalah dengan menaati peraturan yang ada dan menelan segala bacaan yang mampu memberikan nutrisi otaknya. baginya, hidup dalam kebebasan adalah jurang kehancuran, karena ia pasti akan terkungkung dalam kesepian yang mengharuskannya terdiam tanpa mengenal keadaan.
Atau mungkin saja ia telah lupa apa itu kebebasan, yang ada dalam benaknya kini adalah membaca banyak buku, menghafal teori-teori, menjadi juara kelas dan mendapatkan piala penghargaan. Itu semua adalah bagian dari kehidupannya selama ini, keluar dari rutinitas itu sama saja keluar dari dirinya sendiri, dan bahkan akan menyesatkannya.
Lalu kenapa disekolah ini memperjuangkan kebebasan? Sungguh sebuah perspektif yang tak bisa ia terima. Mengajarkan kebebasan pada anak didik sama saja mengajarkan kepada mereka kehidupan liar dan tak terarah. Dan yang menjadi pertanyaan juga, kenapa dia memilih sekolah ini? Sambil benaknya berkelindan, Egar memasuki ruang kelas.
Di dalam kelas, Pak Daus sudah siap dengan slidenya untuk mengajarkan materi sejarah yang ia ampu. Pak Daus adalah wali kelas sebelas bahasa satu, dan merupakan orang yang paling bertanggung jawab dengan kondisi kelas tersebut.
“Egar, darimana kamu?” tanya Pak Daus saat melihat Egar masuk kelas agak telat.
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini